Because of Love
Semburat
wajah yang masam dan penuh dengan lekukan garang terpancar dari wajah oval
milik seorang wanita. Mata hazelnya ikut menatap dengan runcingan tajam. Sebenarnya
wanita itu sangat terlihat cantik malam ini. Tapi, suasana hatinya tidak
seperti polesan luar dari wanita itu. Dadanya naik turun merasakan sesak yang
saat ini sedang bergejolak di dalam hatinya. Tangannya mengepal. Membuat
buku-buku jemarinya menjadi pucat. Tak begitu memperdulikan keadaan. Dirinya sudah
berlalu dengan lenggangnya. Menenteng tas lengannya dengan tak beraturan.
Tatapan aneh di dalam sana tak mengalihkan amarahnya untuk pudar. Sama sekali.
Tangannya bergerak merogoh tas lengannya. Mencari kontak mobil yang di
simpannya di sana. Setelah berhasil di temukannya, ia segera menekan alarm
mobil untuk membukanya. Dengan cepat tubuh rampingnya melesat masuk kedalam.
Sudah pada ancang-ancang kelajuannya, ia pun menginjak pedal gas dengan
kecepatan maximal. Tapi, tidak sampai di luar batas maximal. Dia sendiri tidak
gila melakukannya.
Perjalanan
di tempuhnya selama dua puluh menit. Itu melaju untuk sampai di kediamannya.
Saat mobilnya sudah sukses terparkir di halaman rumahnya, ia segera kembali
melenggang masuk ke dalam kediamannya. Berjalan dengan langkah lebar dan cepat.
Sampai serang pembantu rumah tangga yang bekerja di kediamannya begitu di
acuhkannya. Tapi, saat pembicaraannya menjuru ke arah yang begitu kembali
meledakkannya, membuat hatinya semakin bergejolak.
“Tuan
memberikan pesan pada Meli, Nyonya.”
“Tolong
kau perjelas sekali lagi, Mel!” suara wanita itu menggema di ruang tengah
kediamannya yang luas. Mata hazelnya sudah memicing dengan runcing menatap mata
pembantu yang tengah berhadapan dengannya.
“Tuan
Diaz bilang, kalau malam ini dia tidak bisa pulang. Ada pekerjaan di luar kota
yang sudah menunggunya. Itu pesan Tuan Diaz untuk Nyonya Dee.” Pembantu rumah
tangga itu menjelaskan dengan perasaan yang takut-takut. Wanita bernama Dee ini
memang sangat galak. Jika Diaz sudah kembali membuat hatinya kalang-kabut
seperti sekarang.
Bayangkan
saja! Pria itu sudah memberikan janji makan malam untuk Dee tiga hari ini.
Tapi, semuanya batal. Benar-benar batal. Dan wanita sangat tidak suka dengan
cara Diaz yang mempermainkannya dengan hal yang bahkan sudah sangat di
ketahuinya, Dee sangat benci dengan kebohongan dan omongan kosong.
Wanita
itu sudah kembali berlalu. Ia sama sekali tak ada mood bagus untuk menjawab
pesan dari pembantu yang baru saja di sampaikannya untuknya. Tangan kurusnya
sudah bergerak memutar handle pintu. Dengan tak di hiraukannya lagi. Wanita itu
sudah melempar tas lengannya dengan sembarangan. Melepas wedges dari kaki
jenjangnya juga dengan hal yang sama. Tanpa harus mengganti drees cantiknya
dengan baju tidur, ia sudah merebahkan tubuhnya di ranjang besar dan empuk
miliknya. Menyibakkan selimut tebal untuk membungkus dirinya yang sudah sangat
di hantui dengan kekesalan. Menutup matanya begitu lekat. Agar dirinya bisa
meredamkan amarahnya dan mulai menjangkau alam bawah sadarnya sendiri.
***
Matahari
sudah terbit. Bahkan masuk melalui celah-celah selambu merah dari kamar luas
yang berinterior mewah itu. Wanita itu masih bergelut dengan selimut tebal dan
bantal empuknya. Ia serasa tak ingin lari dari tempat nyaman itu. Matanya saja
masih mengatup kuat. Tak ingin di ganggu sama sekali oleh hal apapun itu. Baru
saja dia tidak ingin memperdulikan matahari yang sudah timbul di atas langit
akan menganggunya. Sentuhan tangan seseorang di puncak kepalanya membuatnya
gusar. Perlahan kelopak matanya sedikit demi sedikit terbuka. Menatap siapa
yang berani mengganggunya. Sekarang dirinya sudah sukses menatap tajam ke asal
sumbernya.
Seorang
pria yang masih lengkap dengan baju kantornya. Hanya dasi yang di kenakannya
sudah di tanggalkannya. Senyuman di bibir ranum pria itu tersungging. Dan
wanita itu sama sekali tak menyambut dengan hangat. Tangannya bergerak menepis
sentuhan pria itu. Ia bangun. Matanya menelik dengan kasar. Menyibakkan selimut
dan ingin segera turun dari ranjang empuknya. Ia malas. Sangat malas bertatap
muka dengan pria itu untuk sementara. Ia ingin meredam amarahnya sampai
benar-benar hilang dulu. Sebelum dirinya mengamuk dan membuat pria itu di
buatnya babak belur. Bisa-bisa wajah tampannya penuh dengan lebam akibat kekerasannya.
“Sayang,
kamu mau kemana?” pria itu menatap Dee dengan pandangan bingung. Lengan kurus
itu di tahannya. Sang empunya malah kembali menyentak untuk di hempaskannya.
“Lepas!”
tepisan kasar itu di sibakkannya.
“Dee,”
panggilan pria itu di iringi dengan pertahanan pria itu di lengan wanita itu
lagi. Membuat wanita itu jadi kesal dan menatapnya runcing.
“Jangan
sentuh aku, Diaz!” nada tinggi wanita itu mengisyaratkan pria itu untuk segera
menjauh. Diaz malah tak mengindahkannya. Dirinya begitu kembali menahan wanita
itu untuk berhadapan dengannya. Mata pria itu mencoba mengunci Dee untuk ada
dalam kaitan hati yang di rengkuhnya. Kedua tangan kekar milik Diaz sudah
terlampir indah wajah cantik wanita itu.
“Sayang,
kamu marah ya?”
“Kamu
masih menanyakannya padaku?” wanita itu jengah. Pria ini membuatnya mendendam
sendiri. Dirinya tidak begitu kuat untuk marah terhadap pria itu sebenarnya.
“Sayang,
aku benar-benar sibuk.” pria itu benar-benar masih dalam perlakuan lembutnya.
Dee benci. Ia sangat membenci keadaan sekarang. Ia tidak bisa menolak.
Perlakuan manis pria ini sangat membuatnya terhipnotis untuk menurutinya.
“Dee.
Aku tahu kamu marah. Dan aku tahu. Kamu masih mau memaafkan aku.” Dengan
kepercayaan dirinya pria itu mengatakannya. Dee menghela nafasnya. Menepis
tangkupan hangat tangan pria itu. Tatapan wanita itu sudah beralih. Ia berjalan
dengan langkah lebar. Menggeser pintu beranda kamarnya. Hembusan angin yang
begitu sepoi-sepoi menerpa pori-pori tubuhnya tepat menusuk dalam dirinya. Ia
menatap langit yang sudah begitu cerah.
“Aku
tahu kamu sibuk. Tapi aku muak dengan janji yang kamu buat. Selalu
menggagalkannya dengan sesuka yang kamu mau. Aku bahkan sudah menunggumu di
restoran selama tiga jam semalam. Kamu bisa bayangkan itu, kan?” dia mencuat marah.
Hatinya yang semalam sudah di redamkannya kini kembali lagi. Ia sama sekali tak
ingin bertatap muka dengan Diaz. Pria itu melangkah mendekat. Berdiri di ambang
pintu dan bersandar di sana. Kepalanya mengangguk-angguk. Ia sangat mengerti
perasaan wanita itu.
“Aku
minta maaf, Sayang. Sungguh!” Pria itu mencoba meminta maaf. Tatapannya tak
terindahkan untuk memandang wanita itu yang tak juga memandangnya. “Aku memang
salah.” lirihan pria itu terdengar di telinga Dee.
Gelenyar
kegelian di rasakannya. Ia membenci luruhan pria itu. Sikapnya yang lembut
membuatnya seakan tak tega. Lembut dan kelemahan pria itu hanya bisa membuat
Dee menghela nafasnya yang sudah tercekat di lehernya.
Wanita
itu kini berbalik. Ia melihat pria itu menunduk. Tangannya terlipat di depan
dadanya. Kakinya bergerak seperti mengukir sesuatu. Pandangannya juga
menerawang. Entah apa itu. Langkah kakinya menyusuri untuk mendekat. Sekarang
kedua tangan kurus wanita itu sudah melingkar di leher pria itu. Kepalanya juga
sudah bertengger di pundak gagahnya. Memeluknya erat dan merasakan wanita itu
memberikan kasih sayangnya yang sudah kembali hadir di dasar hatinya.
Tangannya
menepuk-nepuk punggung pria itu dengan belaian lembutnya. Senyuman manis sudah
terukir di bibir Diaz. Ia tahu. Bahkan sangat tahu kalau Dee akan memaafkannya.
Karena dirinya sudah berdiri dan muncul di mata wanita itu. Wanita yang memang
selalu bisa meluruh saat dirinya sudah berhadapan langsung dengannya.
“Tuhan
pun tahu, Diaz. Aku tidak akan pernah bisa berlama-lama membencimu. Bahkan kau
sudah merajuk padaku.” dirinya masih setia dalam dekapannya. Kedua lengan kekar
itu melingkar di pinggang rampingnya.
“Maafkan
aku ya, Dee. Malam ini kita akan pergi. Menebus janji-janji yang aku buat tiga
hari ini dan membatalkannya begitu saja.” Pria itu mengatakan hal yang membuat
wanita itu masih menatapnya dengan ragu. Matanya mencoba membaca ke dalam mata
pria itu. Yang ia temukan di sana hanyalah keikhlasannya dan kejujurannya.
Wanita itu masih bisa meneliknya.
“Kali
ini kamu tidak akan menggagalkannya, kan?” tanya wanita itu yang masih setia
merengkuh tubuh tegap pria itu. Diaz mengangguk pasti. Senyuman manisnya juga
di kembangkannya.
“Aku
janji, Sayang.” Ucapnya. Kecupan sekilas di bibir ranum pria itu tercetak
dengan indah untuk Dee. Wanita itu jadi tersipu dan memukul dada bidangnya.
Bibirnya sudah mengerucut. Di hatinya ia tidak pernah bosan. Mencintai pria ini
adalah anugerah Tuhan yang sangat indah untuknya.
***
Mata
hazel wanita itu begitu indah tengah terpancar di kedua tatapan seorang pria.
Diaz. Pria yang sudah hadir di hatinya dan mengisi hari-harinya selama 2 tahun
terakhir ini. Hari jadi mereka kali ini sudah terselenggara di sebuah restoran
romantis yang di desain dengan nuansa penuh kasih dan cinta di dalamnya. Wanita
cantik yang biasa di kenal dengan panggil Dee ini begitu melekukkan senyum
manisnya. Tak lupa kedua lipatan di kedua sisi pipinya juga ikut memberi
semburat kesan manis untuk pria itu.
“Kamu
menyiapkan semua ini?” tatapan kekagumannya sudah terpancar indah. Pria itu
menjawabnya dengan anggukan tegas. Wanita itu menatap pria yang berdiri di
sampingnya. Pria itu memberikan surprise manis untuknya. Tempat romantis yang
di sewanya hanya untuk berdua dengannya malam ini. Merayakan hal yang begitu sangat
berarti untuk keduanya.
“Selamat
hari pernikahan ya, Sayang.” Pria itu mendekat dan mengecup puncak kepala
istrinya. Mengusap dengan lembut anak poni wanita itu. Wanita itu menatapnya
dengan berbinar.
“Selamat hari pernikahan kita yang
sudah dua tahun berjalan. Aku mencintaimu. Sampai kapanpun. Bahkan sampai maut
memisahkan kita.” Diaz mengulang setiap kata yang di susun indah olehnya.
Wanita itu berjingkat memeluknya singkat.
“Selamat
hari pernikahan, Sayang. Aku juga mencintaimu. Kapanpun itu. Sampai maut
memisahkan kita.” Wanita itu dengan segenap hatinya mengeluhkan apa yang di
rasakannya saat ini.
Kini
bulir-bulir bening. Air mata yang sudah menumpuk di pelupuk matanya tak sengaja
tertumpah. Wanita itu mencoba menghapusnya dengan tissu. Diaz sudah
memandangnya dengan kelembutannya yang semakin membuat wanita itu luruh di
dalam hatinya.
“Kenapa
menangis?” tanya pria itu. Tangannya sudah mengusap lembut. Menghapus bulir
bening yang menetes di pipi lembut wanita itu.
“Aku
bahagia. Sangat bahagia karena bisa memilikimu.” Ungkapnya. Pria itu menatapnya
sayang. Mengecup matanya, hidungnya, pipinya, dan yang terakhir. Kelembutan
sudah begitu di rasakan oleh wanita itu di bibirnya. Pria yang sudah
berstatuskan suaminya ini memang seseorang yang sangat romantis. Walaupun
kadang dirinya juga sangat menyebalkan. Tapi, ia sangat tahu dan mengenalnya.
Dan ia selalu berfikir. Di dunia ini tidaklah ada seseorang yang sempurna
melebihi apa yang Tuhan ciptakan. Semua umatnya begitu tidak ada yang sempurna.
Bahkan sekalipun ada. Cintanya lah yang sempurnah untuk Tuhan. Juga untuk pria
yang begitu sangat menjaganya selama dua tahun ini.
“Begitu
juga aku, Dee. Aku sangat bahagia memilikimu seutuhnya. Aku masih sangat
mengingat. Mendapatkanmu yang begitu menjadi wanita terpopuler di kampus lima
tahun yang lalu. Sangat membutuhkan perjuangan panjang. Kamu yang begitu
cueknya untuk menanggapi sifat seorang pria. Dan tak kusangka, kamu sendirilah
yang malah menjadi teman pertamaku di kampus. Membuat semua pria serasa ingin
aku bisa dalam genggaman mereka dan meremukkanmu yang terlah merebutmu dari
impian mereka.” Kenangan itu berulang di dalam pikiran pria itu. Dee
membalasnya dengan tawa kecil dan mengangguk.
_END_
A/N
: Cerita ini dulu kubuat untuk ikut lomba tapi karena tidak tepat pada waktunya
selesai, jadilah ku posting di blogku sendiri.
Komentar
Posting Komentar